ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
(Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib
Al-Attas)
Oleh :
Azam Afian Dinata
Abstraksi
Fenomena terkait dengan pekembangan
ilmu pengetahuan begitu pesat. Ditandai oleh munculnya ilmu-ilmu pengetahuan
yang baru. Fenomena ini memunculkan sebuah dampak yang begitu besar bagi umat
muslim. Sebab dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut memicu suatu
kebobrokan moral dan etika yang tidak berlandaskan agama Islam. Yang mana Islam
telah diakui sebagai agama yang paling benar dan berakhlak. Dengan demikian
muncullah sebuah kekritisan dari seorang cendekiawan muslim yang mencetuskan
gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Beliau adalah Ismail Raji Al-Faruqi dan
Syed M. Naquib Al-Attas. Keduanya melihat fenomena perkembangan ilmu
pengetahuan ini sudah melenceng dari ajaran-ajaran Islam. Sehingga membawa
dampak seseorang menjadi sekuler. Berangkat dari sana kedua cendekiawan muslim
ini melakukan Islamisasi pengetahuan dengan berbagai cara. Islamisasi ilmu
pengetahuan merupakan langkah dalam menciptakan suatu peradaban Islam dalam
dunia ilmu pengetahuan. Kedua tokoh besar tersebut menawarkan beberapa opsi
dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan. Diantara opsi tersebut Syed M.Naquib
Al-Attas menawarkan dua opsi dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan, yang
pertama dengan melakukan pemisahan konsep-konsep kunci yang membentuk
kebudayaan dan peradaban Barat. Yang kedua, dengan memasukan konsep kunci Islam
ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dalam hal ini
Ismail Raji Al-Faruqi juga menawarkan dua Konsep dalam melakukan Islamisasi
ilmu pengetahuan. Yakni tauhid, integrasi kebenaran Islam dan ilmu pengetahuan,
dan ayatisasi atau pemberian ayat-ayat terhadap ilmu pengetahuan.
Kata
Kunci : Ilmu Pengetahuan, Ismail Raji Al-Faruqi,
Syed M.Naquib Al-Attas
A.
PENDAHULUAN
Pergulatan
sebuah ilmu pengetahuan kini sangatlah terasa. Dimana pergulatan ini dirasakan
ketika science mengalami perubahan yang begitu pesat dan diiringi oleh
munculnya ilmu-ilmu baru. Seperti halnya ilmu psikologi, sosiologi dan
ilmu-ilmu lainnya. Kehadiran ilmu-ilmu baru ini seakan-akan menunjukkan bahwa
dunia ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Dan dalam hal ini menunjukkan
berkembangnya pemikiran-pemikiran para
tokoh sehingga mampu memunculkan gagasan dan pemikirannya yang pada
akhirnya mempunyai objek kajian tersendiri berupa ilmu pengetahuan.
Tidak sedikit
klaim-klaim atas ilmu pengetahuan hingga sampai pada dewasa ini. seperti halnya
klaim bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, ilmu pengetahuan itu hanya ilmu
alam yang sifatnya pasti hingga sampai klaim yang mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan merupakan hasil dari peradaban barat. Yang notabenenya berangkat
dari asumsi para tokoh dan pencetus ilmu pengetahuan tersebut berasal dari Barat.
Hal ini seakan-akan mengklaim ilmu pengetahuan tersebut hanyalah milik dan
muncul dari peradaban Barat.
Klaim-klaim
tersebut membuat para orang timur atau tokoh sekaligus pemikir ilmu pengetahuan
melihat ketidakadilan atas beberapa klaim ilmu pengetahuan yang seakan-akan
mereduksi para tokoh-tokoh dunia Timur. Yang pada hakekatnya juga mempunyai
peran penting dan merupakan sebagai pelaku sejarah dalam munculnya berbagai
ilmu pengetahuan.
Contoh
kongkritnya adalah Al-Jabar seorang cendekiawan muslim yang mencetuskan rumus Aljabar
khususnya dalam ilmu matematika. Salah satu sumbangsi pemikiran yang penting
dari pemikir orang timur sekaligus juga menjadi peradaban bagi orang-orang
timur atas ilmu pengetahuan itu sendiri. Ada juga seorang filsuf ataupun tokoh sosiologi
yang menawarkan konsep ashobiyah atau yang sering kita kenal dengan solidaritas
sosial dalam menjawab berbagai persoalan Negara di zaman tersebut. Dalam hal
ini idenya tertuang dalam suatu karya besar yang sampai sekarang masih
digunakan referensi bagi kalangan sosiolog yakni bukunya yang berjudul “Mukaddimah”. Dari pemikiran inilah yang
mengilhami berbagai para tokoh dalam melihat ataupun menganalisis berbagai
permasalahan-permasalahan masyarakat sehingga muncullah suatu disiplin ilmu
mengenai masyarakat yakni Sosiologi. Dan masih banyak lagi berbagai
pemikiran-pemikiran orang-orang timur yang mempunyai sumbangsi begitu besar
terhadap ilmu pengetahuan.
Berbagai
sumbangsih yang diilhami oleh para pemikir orang timur ini menunjukkan bahwa
harus ada klarifikasi dalam beberapa klaim diatas yang dilontarkan oleh stigma
yang berkembang didunia mengenai peradaban ilmu pengetahuan yang selalu
diarahkan pada dunia Barat.
Munculnya
berbagai klaim mengenai ilmu pengetahuan berasal dari Barat dan menuai
puncaknya di Barat, maka dengan demikian muncul pulalah berbagai perkembangan
pemikiran kritis dari beberapa cendekiawan maupun intelektual muslim. Seperti
halnya Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang mencetuskan
dan mengembangkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai langkah kongkret
baik dalam merekonstruksi maupun dekonstruksi beberapa klaim yang sudah di
terstigma di dunia.
Maka dari itu
pembahasan mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan dirasa menarik untuk dikaji.
Sebab Islamisasi ini lah yang diasumsikan sebagai perebut tonggak kejayaan yang
pernah diraih oleh umat Islam ketika di Spanyol.
B.
PEMBAHASAN
1.
Ilmu pengetahuan dan Dimensi Islam dalam Konsep Kebenaran
Konsep imu pengetahuan dan dimensi Islam
dalam melihat kebenaran ini sangat penting kita bahas terlebih dahulu. Sebab
konsep ilmu pengetahuan dan dimensi Islam ini menjadi pondasi dasar bagi kita dalam
melihat dan terjadinya Islamisasi ilmu pengetahuan. Terdapat dua konsep dalam
menjawab pertanyaan ini yakni dengan menemukan apa konsep dari ilmu pengetahuan
dan apa konsep Islam dalam melihat kebenaran.
Secara garis besar ketika melihat
perkembangan ilmu pengetahuan ini seakan-akan menjadikan perkembangan ilmu
pengetahuan ini semakin sekuler dari nilai-nilai agama khususnya agama Islam.
Seakan-akan ada tembok raksasa yang menghalangi atau membatasi antara ilmu
pengetahuan yang ada Barat dengan nilai-nilai Islam. Islam dikonsepsikan
sebagai agama yang konservatif atau kolot. Dikarenakan Islam telah
mengembalikannya secara normatif yakni pada kebenaran wahyu. Untuk lebih
jelasnya akan kita bahas apa konsep atau sifat dari ilmu pengetahuan itu
sendiri dan dimensi Islam itu sendiri dalam menilai kebenaran dan sumbangsih
terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan.
a)
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan ini banyak
diartikan para tokoh sebagai kumpulan dari pengetahuan-pengetahuan yang
tersusun secara sistematis, bisa diukur, diuji dan diamati. Masuk dalam dunia
ilmu pengetahuan maka berada dalam wilayah hitam dan putih. Dimana dalam ilmu pengetahuan
kita berada dalam posisi benar atau salah. Benar atau salah ini merupakan
kajian dari ilmu pengetahuan secara subtansinya.
Menilai benar atau salah bukanlah
hal yang mudah. Sebab dalam ilmu pengetahuan ukuran benar dan salah ini akan
diukur secara ilmiah yakni dengan kaidah-kaidah keilmiahan. Yang diantaranya
bisa diukur, diuji dan diamati.
Diluar keilmiahan sebuah ilmu
pengetahuan dapat dilihat juga dalam sudut pandang filsafat ilmu. Dimana
filsafat ilmu ini juga menjadi tolak ukur bahwa apa yang dijadikan objek
tersebut bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan. Dalam kajian filsafat ilmu ada
tiga hal yang menjadi dasar sebagai tolak ukur sebuah objek dikatakan sebagai ilmu
pengetahuan. Pertama, Ontologi. Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu.
Jadi ontologi adalah bidang pokok
filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada.
Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat
yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat
dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi.
Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu
yang berwujud dengan berdasarkan pada logika semata. Obyek telaah ontologi
adalah yang ada. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa obyek
formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas. ontologi membahas apa
yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai
teori tentang ada.[1]
Kedua,
Epistemologi. Kalau Ontologi membahas sesuatu yang ada. Namun epistemologis
lebih membahas tentang terjadinya dan kebenarananya kebenaran ilmu. Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani episteme
dan logos. Episteme berarti pengetahuan dan logos berarti ilmu. Dengan demikian epistemologi secara etimologis
berarti ilmu pengetahuan. Epistemologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu,
dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya.
Epistemologi adalah pengetahuan
sistematis yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan,
asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan
kebenaran pengetahuan. Epistemologi bagian dari cabang atau bagian filsafat
yang membicarakan tentang pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan
kebenaran pengetahuan. Epistemologi lebih mengarah pada bagaimana mendapatkan
pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.
Ketiga,
Aksiologi. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya.[2]
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu axios yang berarti sesuai atau wajar.
Sedangkan logos yang berarti ilmu.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Aksiologi adalah ilmu yang
membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan
ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan
sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan
yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu
pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar. Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai.
Dalam ilmu pengetahuan aspek rasionalitas begitu dipertimbangkan,
sebab ketika suatu pengetahuan tersebut tidak dapat diterima oleh otak atau
yang sifatnya irrasional maka pengetahuan tersebut belum bisa dikatakan sebagai
ilmu pengetahuan. Namun tidak hanya cukup diolah oleh rasio manusia atau yang
hanya masuk akal saja. Akan tetapi aspek empiris juga mempunyai andil yang
begitu besar dalam syarat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan.
Empiris disini diartikan sebagai pengalaman yang telah
dilakukan dalam memperkuat pengetahuan yang telah diproses di rasio manusia.
Empiris sangat menentukan bahwa ilmu pengetahuan ini telah diuji dan dapat
dibenarkan ketika hasil uji yang dilaksanakan bisa diolah oleh rasio dan
dibenarkan oleh rasio. Peran rasio dengan empiris begitu bersinggungan. Dimana
hasil empiris tidak akan dibenarkan ketika tidak melalui hukum-hukum logika
yang terbentuk oleh rasio manusia. Begitu juga sebaliknya, pengetahuan yang
rasional tanpa dilandasi sebuah empiris atau pengujian maka tidak menuntut
kemungkinan pengetahuan tersebut menjadi pengetahuan irrasional. Yang mana
pengetahuan irrasional inilah yang ditentang oleh ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan tidak mengenal abu-abu. Atau wilayah
ambiguitas. Dimana ilmu pengetahuan membicarakan mana yang hitam mana yang
putih. Mana yang salah mana yang benar. Ilmu pengetahuan bersifat kongkret.
Kongkrit disini diartikan sebagai suatu yang nampak dan terlepas dari transedental.
b)
Dimensi Islam Dalam Menilai
Kebenaran
Islam disini diartikan sebagai agama yang turun dari Allah
SWT melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW. Datangnya Islam disambut
dengan bahagia oleh sebagian ummat manusia. Dengan kedatangan Islam ummat
manusia terlepas dari zaman jahiliyah atau yang kita kenal sebagai zaman
kebodohan. Berhasilnya Islam mengentaskan umat manusia dari zaman kebodohan ini
merupakan prestis bagi agama Islam itu sendiri.
Agama yang telah diturunkan pada nabi Muhammad SAW ini
merupakan agama penyelamat. Dimana Islam yang berasal dari kata aslamah yang artinya keselamatan. Islam
hadir sebagai penyempurna sekaligus penyelamat bagi umat manusia yang ada
didunia ini.
Nilai keselamatan ini semuanya sudah diatur oleh Allah SWT
dalam sebuah wahyunya. Wahyu merupakan hal yang mendasar sebagai pondasi dasar
bagi kaum muslim untuk bertindak dan berpijak dalam melakukan sesuatu. Mulai
fiqih, muamalah hingga sampai tauhid dan ilmu pengetahuan pun dibahas dan
diatur oleh Allah SWT melalui wahyunya.
Wahyu dinilai sebagai kekuatan yang dianggap sakral oleh
para pengikutnya. Dimana segala tingkah laku manusia haruslah sesuai dengan
wahyu yang telah diturunkan. Wahyu mempunyai kekuatan penuh dalam mengatur
kehidupan. Baik kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Agama dalam hal ini khususnya Islam menganggap suatu
kebenaran tersebut hanyalah milik Allah SWT. Sedangkan wujud atau substansi
dari Allah SWT ini terletak pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an dan
Al-Hadits ini dianggap sebagai suatu yang sakral dalam agama Islam. Sebab
segala sesuatu bagi kaum muslim yang menjadi rujukan adalah Al-Qur’an dan
Hadits.
Nilai kebenarannya pun selalu terpusat pada nilai-nilai
keyakinan yang dilalui melalui doktrin agama yang sehingga pada akhirnya
menjadi dogma diantara pengikutnya. Dengan adanya dogma ini mengembalikan semua
kebenaran hanya pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Islam menilai suatu kebenaran dengan yang bernilai tauhid
atau keEsaan Tuhan, kekuasaan tuhan dan semua kembali pada Tuhan yang maha Esa.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan dikotomis wilayah ilmu
pengetahuan dan dimensi Islam dalam tabel berikut :
Ilmu Pengetahuan
|
Dimensi Islam
|
1.
Sumber kebenarannya berdasarkan rasio dan empiris
2.
Kongkrit
3.
Kebenarannya bersifat tentatif
4.
Dualisme, hitam dan putih
5.
Korespondensi, pragmatis dan koherensi sebagai
metode pembenaran
6.
Profan
|
1.
Kebenaran besumber dari Tuhan Yang Kuasa.
2.
Abstraksi/trasendental
3.
Kebenarannya bersifat Dogma
4.
Tauhid
5.
Hati (keyakinan) diigunakan sebagai metode
pembenaran atas penafsiran tentang sesuatu
6.
Sakral
|
Tabel 1.1
Tabel
1.1 menunjukkan adanya kontradiksi dalam kedua kolom. Baik itu ilmu pengetahuan
dan dimensi Islam. Dimana dalam ilmu pengetahuan kebenararan rasional dan
empiris merupakan suatu kebenaran utama yang menjadi pondasi dasar pengetahuan
itu dikatakan benar.
Dengan
rasionalitas manusia mampu menemukan suatu kebenarannya melalui proses kerja
otak. Kerja otak inilah yang menjadi salah satu penentu atau syarat dari ilmu
pengetahuan. Berbeda halnya dengan dimensi Islam yang notabenenya melihat kebenaran
semuanya berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam
hal ini kebenaran Tuhan adalah kebenaran mutlak yang harus dibenarkan baik
secara rasionalitas maupun empiris melalui proses dogmatisasi atau keyakinan. Ketika
kita lihat dalam tabel 1.1 ini juga menunjukkan adanya suatu ruang lingkup
dalam kedua pandangan baik ilmu pengetahuan maupun dimensi Islam dalam melihat
dan mengkaji objeknya. Pada ilmu pengetahuan menilai ruang lingkup kajiannya
tidaklah di batasi oleh ruang-ruang sehingga menjauhkan diri dari sifat metanarasi
pengetahuan. Sehingga beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah free value atau bebas nilai dalam
konteks ini ilmu pengetahuan dalam ruang lingkupnya bersifat profan yang dapat
diartikan sebagai pembahasan yang terjadi intervensi normatif sehingga menimbulkan
ilmu pengetahuan itu bersifat laden value
atau syarat akan nilai-nilai.
Hal
ini berbeda dengan dimensi Islam yang melihat ruang lingkup pengetahuan melalui
proses yang dinamakan sebagai sakralitas pengetahuan. Dimana pengetahuan selalu
dibenturkan oleh nilai-nilai sakralitas yang pada intinya bernilai atau sebagai
wujud trasendental bagi manusia dan Tuhannya. Segala sesuatu dilaksanakan dan
dikonsep untuk bagaimana proses trasendental ini tetap dilakukan oleh umat Islam
dengan tidak meninggalkan suatu proses berkembangnya dunia yang terjadi. Dan
dalam dimensi Islam menggunakan pendekatan dogma dalam menilai
kebenaran-kebenaran. Yang mana dalam hal ini ilmu pengetahuan lebih melihat
suatu kebenaran dengan beberapa metode yakni korespondensi, koherensi dan
pragmatis.
Maraknya kajian dan integrasi
keilmuan antara ilmu Islam dengan ilmu non Islam (Islamisasi ilmu pengetahuan)
dewasa ini dengan senter didengungkan oleh kalangan intelektual muslim antara
lain Naquib Al Attas dan Ismail Raji’ Al Faruqi, tidak lepas dari kesadaran berIslam
ditengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan iptek. Ia misalnya
berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu
mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu atau sebaliknya mampu
memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sehingga muncullah sebuah asumsi
bahwa seakan-akan menciptakan sebuah perbedaan yang membedakan antara ilmu
surga dan ilmu neraka. Dan juga membedakan ilmu yang barokah dengan ilmu yang
berlumuran dosa. Diakui atau tidak Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah lama
diperbincangkan oleh kaum cendekiawan muslim yakni Ismail Raji Al-Faruqi dan
Syed Naquib Al-Attas pada tahun bekisaran 1970an.
Kedua tokoh ini memang dikenal
sebagai tokoh munculnya gagasan mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan. Namun
dibeberapa referensi buku menyebutkan bahwa tidak diketahui siapa yang pertama
kali mencetuskan pertama kali gagasan mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan.
Namun diantara keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda mengenai latar
belakang munculnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Ini juga dikarenakan di
kedua tokoh tersebut dilahirkan dalam situasi geografi dan demografi yang
berbeda.
2.
Latar Belakang Adanya
Konsep Islamisasi
Salah
satu alasan mendasar mengenai gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan
dikarenakan tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga
ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Ilmu Sosial sudah tidak lagi bebas
nilai akan tetapi sifatnya syarat nilai.
Pengetahuan dan ilmu yang ada didunia ini, termasuk dalam dunia Islam, telah
diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Seakan ilmu pengetahuan bersumber
dari otak-otak orang Barat.
Al-Attas,
salah seorang cendekiawan muslim, mengatakan bahwa pengetahuan Barat telah
membawa pada keadaan yang anomi dan skeptis. Peradaban Barat melihat keadaan
anomi dan skeptis ini sebagai suatu sarana epistimologis yang utama dalam
menenukan sebuah kebenaran. Pada
dasarnya Islam juga mempunyai kontribusi yang sangat penting pada peradaban Barat
pada ranah pengetahuan dan menanam cara berfikir positifis, walaupun kita tahu
bahwa ilmu pengetahuan banyak di lahirkan oleh pemikir Barat. Tepatnya para
filosof mulai zaman Yunani Klasik hingga sampai yang modern. Namun diakui atau
tidak, peran cendekiawan muslim sangatlah penting dalam intervensi dan pengaruh
perkembangan ilmu pengetahuan yang digagas oleh para filosof Barat.
Bahkan,
pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia,
setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat
mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan
semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali
untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu
dualisme menurut pandangan hidup dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat.
Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari
ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan
teologi yang bertentangan.
Nilai
kebenaran dan realitas pada dunia Barat tidaklah mengacu pada kebenaran yang
melalui proses keyakinan. Dalam hal ini ada dogma agama yang berupa isi kitab
suci seperti halnya Al-Quran dan Hadist, melainkan menilai kebenaran tersebut
melalui budaya yang berdasarkan atas pemikiran filsafat yang berupa
spekulasi-spekulasi belaka.
Perenungan
filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana Islam menilai
suatu kebenaran juga melalui keyakinan-keyakinan atas kebenaran tersebut. Oleh
sebab itu pengetahuan dan nilai-nilai yang mendasari akan menjadikan pandangan
hidup yang mengarahkan kepada kehidupan Barat.
Realitas
dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang dunia kosmos
yang sifatnya fisik dan yang mengarahkan pada dunia sekuler. Akan tetapi
realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis
terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.
Pandangan
hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti subjektif dan
objektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dalam Islam
dengan metode yang menyatukan atau yang biasa kita kenal konsep tauhid.
Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan
intuisi. Substansi agama seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya,
doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh
Nabi.
Hal
ini menunjukkan bahwa terjadi paradigma atau cara pandang yang berbeda antara
nilai-nilai Barat dengan nilai-nilai keIslaman. Karena Barat mendasarkan segala
sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme atau dua pandangan yang berbeda. Sedangkan
Islam pada konsep penyatuan atau tauhid. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba
untuk menggagas sebuah konsep Islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan
menemukan dan meraih kembali peradaban Islam
yang pernah diraih.
Salah
seorang tokoh yang juga menjadi penggagas konsep Islamisasi pengetahuan sosial
Ismail Raji Al-Faruqi yang mengatakan bahwa umat Islam saat ini berada dalam
keadaan yang lemah. Kaum muslim dianggapnya berada dalam kondisi degradasi baik
dalam ilmu pengetahuan maupun lainnya. Dengan kondisi yang demikian ini
menyebabkan kebodohan dikalangan kaum muslim itu sendiri.
Di
kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul.
Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada
literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau
tokoh-tokoh mereka. Meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber
kreativitas yang semestinya dipertahankan.
Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan
umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah.
Dalam
kondisi seperti ini, masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu
yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh
kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi.
Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan
umat Islam sendiri dari ajaran Al-Qur’an dan Hadist. Sebab berbagai pandangan
dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter dalam menyaring mana kebudayaaan dan
ilmu pengetahuan yang bisa kita ambil sebagai sintesa kebenaran.
Hal
ini menjadi problem tersendiri bagi kaum muslim. Dimana kaum muslim sudah
terjebak pada dunia westernisasi. Yang ditandai oleh hidup keBarat-Baratan.
Westernisasi tidak hanya pada rana pandangan hidup dalam keseharian mulai food, fun and fashion. Melainkan juga
masuk pada rana ilmu pengetahuan. Dimana ilmu pengetahuan sudah terkonstuk
dalam pemikiran-pemikiran Barat. Ini menjadikan pemikiran seseorang menjadi
sekuler.
Banyak
generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat
westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Walaupun dalam aspek-aspek tertentu
kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun Ismail Raji Al-Faruqi
mengatakan bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang
dikehendaki oleh ajaran agamanya.
Kemajuan
yang dicapai, hanya merupakan kemajuan semu yang sifatnya masih ambigu. Karena
disatu sisi umat Islam telah banyak mengadopsi hasil dari peradaban Barat. Akan
tetapi disisi lain kaum muslim juga kehilangan pijakan yang bersumber pada
pedoman hidup kaum muslim yakni kesakralan nilai-nilai moral agama.
Berangkat
dari fenomena tersebut Ismail Raji Al-Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam
seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang
tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara
tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang
demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam.
Proses
westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim.
Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancurkan umat Islam dari ajaran al Qur’an
dan Hadits. Dengan adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima
umat Islam tanpa adanya filter sebagai penyaring kehidupan Barat yang masuk di
dunia Islam. Sehingga umat Islam dewasa ini menjadi kebingungan tanpa arah.
Yang disebabkan oleh keadaan kultur integritas Islam terpecah baik dalam aspek
pemikiran maupun perbuatan.
Berangkat
dari hal tersebut, Ismail Raji Al-Faruqi berfikir bahwa salah satu cara dalam
menghilangkan dualisme tersebut dengan cara mengislamisasikan
pengetahuan-pengetahuan atau dengan melakukan sebuah akulturasi sebuah
pengetahuan-pengetahuan. Sehingga apa yang dikonsepsikan bahwa ilmu pengetahuan
bersifat ke Baratan dan mengandung dualisme terersebut bisa dilebur dengan
ajaran tauhid dan beberapa normatif dalam agama Islam.
Jika
melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya Islamisasi menurut kedua
tokoh ini, maka akan terlihat adanya kesamaan pemikiran yaitu bahwa peradaban
yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomis.
Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam Islam yaitu
tauhid. Hanya saja perbedaan kedua tokoh tersebut terlihat dalam segi latar
belakang tentang perlunya diadakan sebuah Islamisasi. Al-Attas lebih melihat
dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah
pengaruh eksternal yang datang dari Barat sedangkan Al-Faruqi melihatnya dari
masalah internal itu sendiri.
3.
Definisi Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
Tentunya tidaklah mudah menafsirkan
apa itu Islamisasi ilmu pengetahuan dan bagaimana formulasi Islamisasi ilmu
pengetahuan ini di laksanakan. Definisi Islamisasi ilmu pengetahuan ini
mengarahkan pada konsep ilmu pengetahuan dan Islam itu sendiri.
Islamisasi ilmu pengetahuan ini
diterangkan secara jelas oleh al-Attas, yaitu Pembebasan manusia dari tradisi
magis, mitologis, animistis, kultur-nasional yang bertentangan dengan Islam dan
dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa Juga pembebasan dari
kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap
hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa
terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi
adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan
devolusi.[3]
Berdasarkan pernyataan Al-Attas ini
menunjukkan bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan diharapkan bisa membebaskan kaum muslim yang bertentangan dengan Islam
bahkan menjadikannya sekuler. Sehingga Al-Attas berfikir bagaimana bisa
mengembalikan kejayaan kaum muslim dan mengembalikan semuanya pada fitrahnya.
Fitrahnya disini diartikan sebagai pemusatan ilmu pengetahuan yang berkembang
ataupun yang sudah ada kembali pada peradaban Islam. Sebagaimana puncak
kejayaan yang sudah pernah diraih oleh kaum muslim.
Menurut Al-Faruqi Islamisasi adalah
usaha untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali
argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali
kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan
semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam
dan bermanfaat bagi cita-cita.
Secara umum, Islamisasi ilmu
pengetahuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap
realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dalam model pengetahuan baru
yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Proses pengintegralan antara ilmu pengetahuan
yang berkembang didunia Barat dengan konsep Islam dan ilmu pengetahuan
Selain kedua tokoh di atas, ada
beberapa pengembangan definisi dari Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Osman Bakar, Islamisasi ilmu pengetahuan
adalah sebuah program yang berupaya memecahkan masalah-masalah yang timbul
karena perjumpaan antara Islam dengan sains modern sebelumnya.[4]
Progam ini menekankan pada keselarasan antara Islam dan sains modern tentang
sejauh mana ilmu pengetahuan dapat bermanfaat bagi umat Islam.
M. Zainuddin menyimpulkan bahwa Islamisasi
pengetahuan pada dasarnya adalah upaya pembebasan pengetahuan dari
asumsi-asumsi Barat terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan
pandangan Islam.[5]
Dari pengertian Islamisasi
pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya
membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional, empirik dan
filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain,
khususnya Barat.
4.
Proses Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
Proses
islamisasi ilmu pengetahuan ini akan bisa dilaksanakan ketika proses ilmu
pengetahuan ini dilaksanakan dengan beberapa prinsip pokok yang ada pada agama Islam
itu sendiri. Baik itu dalam prinsip pokok tauhid, syariah, maupun akhlak. Ketiga
prinsip pokok tersebut haruslah menjadi pondasi dasar bagi ilmu pengetahuan
yang ada.
Islamisasi
ilmu pengetahuan ini bisa dilaksanakan dengan dua cara. Yakni yang pertama, dengan cara mengislamkan
ilmu-ilmu pengetahuan yang ada maupun yang sedang berkembang. Yang kedua, dengan cara mengilmukan Islam.
Dari kedua konsep Islamisasi ilmu pengetahuan ini dibahas oleh kedua tokoh
besar dalam gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini yakni Syed M.Naquib Al-Attas.
Ismail Raji Al-Faruqi.
Dalam
pandangan Syed Naquib Al-Attas proses Islamisasi ilmu ini bisa dilakukan dengan
melalui dua cara. Yang pertama, ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan
konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Dalam arti
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menjadikan peluang-peluang terjadinya
budaya yang menimbulkan suatu peradaban yang dihasilkan oleh orang-orang Barat.
Misalnya, dalam budaya terdapat salah satu unsur budaya adalah bahasa. Bahasa disini memberi peluang
terjadinya budaya yang menjadikan peradaban Barat.
Mulai dari penggunaan bahasa hingga
bagaimana memperlakukan bahasa tersebut. Contohnya dalam kajian sosiologi kita
kenal dengan tokoh Emile Durkheim dengan beberapa teorinya dalam melihat
masyarakat. Diantaranya mengenai konsep solidaritas. Konsep solidaritas ini
seakan-akan menjadi gagasan awal yang disampaikan oleh Emile Durkheim. Namun
perlu diketahui bahwa konsep solidaritas sudah ada sejak zaman terdahulu.
Tepatnya pada zaman Ibnu Khaldun. Dimana Ibnu Khaldun sudah jauh mencetuskan
dan menggagas konsep solidaritas yang disebut sebagai Ashobiyah ini dalam
menjawab persoalan Negara. Menurut
Al-Attas inilah yang harus dihilangkan. Sehingga tidak memunculkan klaim terhadap
peradaban Barat.
Yang kedua,
menurut Al-Attas adalah memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci
ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dalam arti
konsep kedua ini Al-Attas menindaklanjuti konsepan yang pertama yakni dengan
memasukkan nilai-nilai Islam dalam unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut.
Berbeda
dengan pandangan Ismail Raji Al-Faruqi. Dimana Al-Faruqi berpendapat bahwa Islamisasi
ilmu pengetahuan ini dilakukan dengan cara menjadikan konsep tauhid sebagai
pondasi dalam ilmu pengetahuan. Berikut merupakan esensi tauhid yang
digambarkan Al-Faruqi dalam ilmu pengetahuan.
a.
Tauhid
/ Keesaan Allah.
Al-Faruqi
ini berpandangan bahwa suatu yang esa atau mengandung unsur ketuhanan yang satu
merupakan esensi dari segalanya. Bagaimana menciptakan suatu ilmu pengetahuan
yang sifatnya bertauhid atau mengandung unsur ke-Esaan. Dalam menilai
kebenaranpun bagaimana melakukan penilaian yang tidak menimbulkan dualisme
kebenaran yakni kebenaran subjektif, objektif. Akan tetapi bagaimana nilai
kebenaran tersebut bersifat tunggal. Yang mengerucut pada nilai-nilai
ketauhidan.
b.
Integrasi
kebenaran Islam dan kebenaran ilmu pengetahuan.
Menurut
Al-Faruqi, kebenaran dalam Islam haruslah di integrasikan pada nilai-nilai
kebenaran ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmu pengetahuan disini kita kenal
sebagai kebenaran yang melalui hukum-hukum logika yang dijadikan patokan
sebagai tolak ukur standar kebenaran. Sumber kebenaran dalam ilmu pengetahuan
yang terpusat dalam nilai-nilai rasionalitas dan nilai-nilai empiris yang lebih
mengedepankan pengalaman sebagai ukuran kebenaran.
Sedangkan
kebenaran dalam Islam bersumber pada wahyu dan kebenaran akal selagi tidak
bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam Islam dalam proses mengolahnya dengan
akal manusia. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang
oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian
dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran.
Islamisasi
ilmu pengetahuan pandangan Al-Faruqi ini haruslah mengintegrasikan konsep
kebenaran yang ada pada ilmu pengetahuan yang bersumber pada akal
(rasionalitas) dan pengalaman (empiris) dengan konsep kebenaran Islam yang
terletak pada keyakinan melalui wahyu dan ayat-ayat yang mempunyai sakralitas
dalam agama tersebut.
C.
PENUTUP / KESIMPULAN
Pada
dasarnya paradigma dalam ilmu pengetahuan dan ilmu Islam adalah menemui
kesamaan-kesamaan. Dimana dalam sejarah yang ada bahwa ilmu pengetahuan ini
berawal dari sebuah pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim yang menghasilkan
suatu peradaban pengetahuan dalam Islam itu sendiri. Namun dengan adanya
perkembangan zaman tersebut maka ilmu pengetahuanpun berkembang begitu pesat
tanpa adanya kontrol dari agama Islam sendiri yang mengakibatkan adanya ilmu
pengetahuan yang tidak beretika.
Sehingga
seiring dengan berputarnya waktu menimbulkan stigma mengenai adanya ilmu surga
dengan ilmu yang berlumuran dosa yakni ilmu pengetahuan yang liberal. Dengan
begitu seakan-akan terjadi pembedaan dari kedua ilmu tersebut. Dari fenomena
tersebut muncullah sebuah cendekiawan muslim yang mengkritisi mengenai fenomena
tersebut dengan memunculkan gagasan Islamisasi pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan lebih memusatkan pada nilai-nilai kebenaran yang sifatnya empiris.
Dimana nilai-nilai empiris ini menjadi pondasi awal dalam ilmu pengetahuan
menilai kebenaran. Kebenaran empiris inilah yang menjadi patokan dalam ilmu
pengetahuan. Sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan ini ironis dengan kebenaran
yang ada di agama. Dimana nilai kebenaran yang ada di agama ini selain
mengarahkan pada nilai kebenaran empiris tapi juga menilai kebenaran dari nilai
dogma atau kepercayaan terhadap sesesuatu yang sifatnya terkadang sangat
irasional.
Nilai
kebenaran inilah yang seakan akan menjadi sebuah pembatas atau pembeda antara
ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam inilah yang menjadikannya sebagai
pembeda dalam suatu ruang. Dari pembedaan inilah yang menimbulkan beberapa
tokoh Islam mencoba untuk berusaha mengintegrasikan nilai-nilai yang ada di Islam
dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.
Islamisasi
pengetahuan ini juga diawali dengan adanya keresahan dan kekecewaan pada kaum
muslim dalam melihat fenomena betapa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
yang tidak didasari sebuah nilai-nilai agama khususnya agama Islam. Dalam hal
ini agama Islam. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuanpun bisa menjadikan
seseorang menjadi sekuler. Dengan terjadinya sekuler ini kedua tokoh tersebut
ingin mengembalikan ilmu pengetahuan pada nilai-nilai agama.
Nilai-nilai
agama disini diartikan suatu yang fundamental dalam perkembangan ilmu
pengetahuan apapun. Nilai-nilai agama dijadikan sebagai pondasi dasar dalam
ilmu pengetahuan. Diantara pemikiran kedua tokoh tersebut mempunyai tawaran
yang berbeda dalam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Syed M.Naquib Al-Attas menawarkan dua opsi dalam melakukan Islamisasi
ilmu pengetahuan. Pertama, dengan
melakukan pemisahan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban
Barat. Kedua, dengan memasukan konsep
kunci Islam ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Dalam hal ini Ismail Raji Al-Faruqi juga menawarkan dua
Konsep dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan. Yakni tauhid, integrasi
kebenaran Islam dan ilmu pengetahuan, dan ayatisasi atau pemberian ayat-ayat
terhadap ilmu pengetahuan.
Dari kedua konsep yang ditawarkan oleh para tokoh tersebut
dilatarbelakangi oleh pemikiran yang bebeda pula. Dimana Syed Naquib Al-Attas
melihat situasi kondisi umat muslim dengan melihat kondisi external umat muslim
itu sendiri yakni proses degradasi dan kemundurun-kemunduran yang dialami oleh
kaum muslim yang salah satunya disebabkan oleh orang-orang Barat dan budaya Barat
seperti halnya westernisasi atau hidup kebarat-baratan dan sekulerisasi atau
pembedaan antara kehidupan didunia dengan agama.
Sedangkan Ismail Raji Al-Faruqi Lebih melihat pada faktor
internal kaum muslim itu sendiri. Dimana peradaban dan kejayaan umat muslim
kini perlu dipertanyakan sehingga bagaimana bisa mencapai peradaban dan
kejayaan kaum muslim yakni dengan cara Islamisasi ilmu pengetahuan.
Daftar Pustaka
·
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
·
Burhanuddin.
Salam, Logika Materil, Filsapat Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
Reneka Cipta, 1997.
·
Daud,
Wan Mohd Nor Wan. penerjemah Hamid Fahmi dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,
Bandung: Mizan, 2003.
·
Sumantri.
Jujun, Filsafat Imu sebuah pengantar
popular, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2009
·
Zainuddin. Muhammad, Filsafat
Ilmu: Persfektif Pemikian Islam, Malang: Bayu Media, 2003.